Lebak – Di rumah panggung kayu di Kasepuhan Pasireurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Abah Aden duduk bersila. Usianya sudah lanjut, namun badannya masih kokoh dan sorot matanya tajam.
Ditemani pemuda setempat bernama Jajuli, ia menuturkan tentang kewajiban turun-temurun menjaga hutan adat. Segala kebutuhan hidup kasepuhan atau warga adat bersumber dari hutan itu. Karena itu, menjaga kelestariannya menjadi kewajiban.
Kasepuhan Pasireurih memperoleh Surat Keputusan (SK) pengakuan wilayah adat seluas 580 hektare pada 2019 setelah proses pengajuan sejak 2015. SK itu menjadi bukti pengakuan resmi negara sekaligus memberi kepastian hukum agar wilayah adat mereka terlindungi dari ancaman proyek eksploitasi alam yang kerap mengintai tanah adat di Indonesia.
Bagi warga kasepuhan, menjaga wilayah adat, terutama hutan adat di Gunung Bongkok yang menjulang di belakang kediaman Abah Aden, sama artinya menjaga kehidupan. Hutan itu menjadi jantung Kasepuhan Pasireurih, sumber udara, air, dan pangan yang menopang kehidupan sejak ribuan tahun.
“Bagi kami, masyarakat adat, hutan adat ini menjadi sumber kahirupan sareng kahuripan,” kata Jajuli pada pertengahan Agustus 2025 lalu.
Warga membagi hutan menjadi dua fungsi. Hutan garapan dan hutan tutupan. Keduanya ditandai oleh keberadaan pohon hanjuang. Di hutan garapan, warga diperbolehkan membuka lahan untuk bertani kopi atau mengambil hasil hutan seperti gula aren dan buah-buahan.
Dua komoditas itu menjadi sumber penghidupan warga selain bercocok tanam padi. “Bagi kami, padi adalah sumber pangan utama, sedangkan gula aren menjadi sumber ekonomi untuk menyekolahkan anak dan kebutuhan lainnya. Tidak sedikit warga yang bisa membiayai pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi dari hasil gula aren,” ujarnya.
Sementara itu, hutan tutupan harus dijaga dari tangan manusia karena merupakan sumber mata air serta berperan penting menjaga kestabilan ekologi. Dari hutan inilah warga memperoleh air jernih dan udara segar sehingga keberadaannya wajib dilestarikan sebagai warisan bagi generasi kasepuhan mendatang.
“Air merupakan kebutuhan utama,” ucapnya.
Disinggung mengenai proyek geothermal yang direncanakan pemerintah di sekitar wilayah mereka, Jajuli menegaskan bahwa hingga kini tidak pernah ada pembicaraan apa pun terkait hal itu. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) masih sangat asing di telinga warga.
“Saya kira masyarakat belum tahu terkait rencana itu. Kalau saya sempat dengar dari orang, katanya di dekat Kasepuhan Karang mau dibangun energi panas bumi,” ujarnya.
Jajuli enggan terburu-buru mengambil sikap penolakan. Ia berharap pemerintah lebih dulu membuka ruang komunikasi agar tercipta dialog dua arah. Namun, jika pembahasan nantinya tidak mengakomodasi kepentingan hidup warga masyarakat adat, penerimaan terhadap proyek tersebut akan sulit dilakukan.
Keresahan Jajuli bukan tanpa alasan. Ia cemas jantung kehidupan kasepuhan akan terdampak proyek yang disebut energi bersih itu. Bagi mereka, bila Gunung Bongkok sampai terganggu, berarti sama saja mengkhianati amanah leluhur.
“Butuh komunikasi, dan hasil komunikasi itu akan kami kaji sisi positif dan negatifnya. Kami ini sudah sejak ratusan tahun lalu menjaga hutan ini. Hutan ieu kudu dijaga, bumi ieu kudu dijaga, karena supaya hutan ieu hejo, masyarakatna ngejo. Hutan lestari, maka masyarakat sejahtera,” tuturnya.
Penulis:
Tim Jurnalis Warga Surosowan.id