Serang – Pemerintah Indonesia tengah berupaya untuk meningkatkan energi terbarukan, dengan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal di seluruh wilayah Indonesia. Proyek ini dianggap bisa menekan krisis iklim.
Di Banten sendiri tersebar di lima lokasi yaitu di Rawa Dano, di Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Gunung Karang di Pandeglang, Gunung Pulosari di Pandeglang, Gunung Endut di Lebak, dan terakhir di Pamancalan di Lebak.
Dari lokasi tersebut, 3 wilayah masuk kedalam wilayah kerja panas bumi (WKP) kaldera danau Banten. Wilayah itu diantaranya Rawa Dano Padarincang, Gunung Karang dan Gunung Pulosari.
Proyek ini sendiri sudah mulai berjalan di Padarincang dari tahun 2016. Pada tahun itu pengembang utama proyek geothermal di Banten sudah menerjunkan alat berat ke lokasi. Namun hal itu sempat ditolak oleh warga. Para warga mayoritas mengaku tidak mengetahui wilayahnya bakal dibangun geothermal.
“Tokoh masyarakat pada khawatir ini mau dibangun apa. Nggak pernah dikasih tau geothermal,” kata warga Padarincang bernama Rijal, beberapa waktu lalu.
Pasca kedatangan alat berat, kemudian muncul sosialisasi dari pihak terkait bahwa akan ada pembangunan. Namun sosialisasi itu tidak menemukan titik temu.
Beberapa tokoh masyarakat yang hadir dalam forum tersebut menanyakan terkait dengan adanya alih fungsi lahan di hutan, untuk mendukung akses jalan ke lokasi geothermal. Masyarakat menilai itu merupakan perusakan lingkungan.
Tak hanya itu mereka juga mempertanyakan kebutuhan air yang banyak selama proses pembangunan. Mereka khawatir ketersediaan air untuk warga berkurang lantaran diambil oleh pihak perusahaan.
“Tokoh juga menanyakan apa dampak negatifnya, geothermal ini menggunakan air begitu besar. Tenaga ahli tidak bisa menjelaskan dampak negatif,” kata Rijal.
Rijal adalah pemuda asli Padarincang yang ikut menolak. Penolakan itu juga muncul dari tokoh masyarakat atau kasepuhan, yang khawatir jika pembangunan diteruskan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Kekawatiran itu kemudian muncul begit ada banjir, dan longsor yang terjadi pada Bulan Maret lalu yang dalam dugaannya salah satunya akibat proyek tersebut. Bencana itu dianggap berdampak paling parah ketika belum ada geothermal.
“Bener kejadian semenjak awal dibuka sampai sekarang banyak isu sosial, lingkungan, banjir sudah tiga bulan nggak ada penanganan,” katanya.
Suara penolakan juga disampaikan oleh Suhemi (60). Ia sudah merasakan dampak buruk yang sudah ditimbulkan. Rumah tempat ia tinggal bersama dengan keluarganya diterjang banjir dan longsor.
Tak hanya itu, sawah lahan produktif warga tidak bisa digunakan karena terendam tanah dan pasir. Para petani gagal panen dan terancam kehilangan lahan garapan karena sampai sekarang pasir dan tanah menumpuk di area persawahan.
“Banjir, setelah ada itu (geothermal) dampaknya meluas,” ungkapnya.
Pasokan air bersih untuk warga dan petani juga mulai berkurang. Aliran sungai saat ini kondisinya dangkal akibat tertimbun pasir dan pohon besar. Pasir dan pohon itu berasal dari lokasi di dekat proyek.
Suhemi merasa was-was karena proyek geothermal tak ada kepastian dilanjutkan atau tidak. Ia berharap proyek tidak dilanjutkan agar warga bisa hidup tenang tanpa khawatir bencana.
“Khawatir (dilanjutkan) soalnya rawan banjir kalau sudah begini,” katanya.
Arniah (29) harus terusir dari rumahnya. Ia terpaksa harus tinggal di sebuah kontrakan karena rumahnya rata dengan tanah akibat terkena banjir. Pohon besar dari hulu menabrak rumahnya yang berukuran 5×6 meter.
Arniah mengungkapkan bencana tahun ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Atas hal itu ia kemudian berharap agar geothermal tidak dilanjutkan.
“Kalau (proyek) nggak di-stop takutnya gini lagi. Kata orang-orang, di (dekat lokasi proyek) jebol (longsor) makanya jadi turun ke sini (batang pohon),” kata Arniah.
Penulis:
Aris Eka Arsana, Jurnalis Warga Surosowan