Rangkasbitung – Tidak banyak orang Belanda pada masa penjajahan dulu yang dengan sukarela memutuskan berpihak ke negara yang dijajah oleh negara asalnya. Edward Douwes Dekker ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Lebak, Banten pada 1856 lalu dan ditugaskan mengawasi Adipati Karta Natanegara. Di sana ia kemudian membuat buku berjudul “Max Havelaar” dengan nama pena Multatuli yang diambil dari bahasa Latin yang artinya “Aku telah menderita begitu banyak”.
Meskipun Edward Douwes Dekker hanya bertugas di Lebak selama beberapa bulan, pengalamannya di wilayah ini sangat memengaruhi karyanya dan membuka mata banyak orang terhadap ketidakadilan dalam kolonialisme. Lebak, melalui kisah “Max Havelaar,” menjadi salah satu ikon penting dalam perjuangan melawan ketidakadilan kolonial di Hindia Belanda.
Buku Max Havelaar berpusat pada karakter utama bernama Max Havelaar, seorang pejabat kolonial yang mencoba mengungkap dan melawan ketidakadilan di wilayah Lebak, Banten. Buku ini memaparkan secara detil kebobrokan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), korupsi di kalangan pejabat kolonial, dan penderitaan rakyat jelata yang diperbudak oleh kebijakan kolonial Belanda.
Melalui tulisannya yang penuh emosi dan kritik tajam, Multatuli berhasil menciptakan karya yang menjadi panggilan untuk perubahan. Bahasannya tentang moralitas, etika pemerintahan, dan hak asasi manusia menjadi dasar bagi buku ini.
Pentingnya buku “Max Havelaar” tidak hanya terletak pada aspek sejarahnya, tetapi juga dalam cara Multatuli menggambarkan kompleksitas karakter dan situasi. Max Havelaar tidak hanya dihadapkan pada konflik dengan para pejabat kolonial, tetapi juga melawan dirinya sendiri dan sistem yang ia wakili. Itu membawa pembaca pada refleksi mendalam tentang moralitas dan tanggung jawab sosial.
Saat terbit di Belanda, buku ini juga menimbulkan dampak sosial yang luar biasa, yaitu lahirnya politik balas budi oleh pemerintah Belanda. Politik balas budi muncul sebagai respons terhadap kritik terhadap praktik kolonial yang brutal dan tidak etis. Pada dasarnya, politik balas budi mengusung ide bahwa pemerintah Belanda harus memberikan balasan kepada koloni Hindia Belanda dengan memberikan pendidikan dan pelayanan sosial sebagai gantinya. Tujuan dari politik ini adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi, sekaligus mempertahankan keberlanjutan eksploitasi ekonomi.
Menurut kami mengapa semua orang harus membaca “Max Havelaar” sangatlah penting. Buku ini membawa kita masuk ke dalam dunia kolonial yang keras dan menceritakan kehidupan warga pribumi yang tertindas dengan sangat mendalam. Penggambaran yang realistis ini membantu kita untuk lebih memahami dampak negatif dari kolonialisme secara langsung.
Buku ini juga membuat kita tercerahkan mengenai pentingnya kejujuran, keadilan, dan keberanian dalam melawan ketidakadilan. Hal ini membuatnya tidak hanya sebagai karya sastra sejarah, tetapi juga sebagai panduan etika serta mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang bagaimana sejarah memengaruhi perkembangan suatu bangsa dan mengapa penting untuk belajar dari kesalahan masa lalu.
Saat ini di Rangkasbitung, Lebak sudah ada museum Multatuli, di sana tersimpan berbagai macam peninggalan serta penjelasan ringkas mengenai siapa dan apa yang diperjuangkan Edward Douwes Dekker. Bahkan tegel rumah dinasnya dulu di Lebak pun tersimpan di sana. Namun, ironisnya rumah aslinya yang terletak di parkiran RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung jadi cagar budaya yang tidak terurus.
Jurnalis Warga: Raden Audindra