Dokumentasi tumpukan sampah di TPSA Cilowong

Deru mesin truk sampah menggulung pelan, menyerupai napas kota yang berat. Di Kelurahan Cilowong, Kecamatan Taktakan, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Cilowong berdiri bukan sekadar sebagai lokasi pembuangan, melainkan simbol persoalan lingkungan yang tak kunjung usai. Bau busuk menyelinap bersama angin dan ada lahan pertanian warga yang kian rusak.

Lahan pertanian warga di sekitar TPSA Cilowong mulai kehilangan produktivitas sejak tempat itu berdiri pada tahun 1995. Longsor pada 2009 di lokasi TPSA juga memperburuk kondisi tersebut, meskipun tidak menimbulkan korban jiwa. Kejadian serupa kembali terjadi pada tahun 2019 dan menewaskan dua warga Kelurahan Cilowong. Hingga kini, jasad keduanya masih terkubur di antara tumpukan sampah. Dua insiden itu terjadi karena TPSA Cilowong masih menerapkan sistem open dumping, yang meningkatkan risiko longsor dan membahayakan masyarakat sekitar.

Puluhan meter di bawahnya, terbentang lahan sawah yang tak lagi produktif. Aliran air irigasi berwarna hitam pekat mengalir dari  TPSA Cilowong menyusuri saluran irigiasi dan merembes perlahan, menyebarkan aroma amis yang menusuk dan mencemari lahan pertanian.

Kasmeri (53), meskipun usianya sudah lebih setengah abad, ia masih gesit dalam menggarap lahan sawah sekitar 700 meter persegi yang jaraknya sekitar 250 meter dari TPSA Cilowong. Ketika banyak warga memilih menyerah dan menjual lahan pertaniannya pada Pemerintah Kota (Pemkot) Serang untuk perluasan TPSA, ia tetap bertahan.

Sebelum TPSA Cilowong berdiri, Kasmeri bisa menanam padi di lahannya sebanyak tiga kali dalam setahun dengan mengandalkan air dari saluran irigasi. Kini, produktivitas lahannya menurun drastis, dan ia hanya bisa menanam sekali dalam setahun karena harus mengandalkan air hujan. Saluran irigasi tercemar sampah dan air lindi, sehingga air tidak lagi bisa digunakan.

Jika Kasmeri nekat menggunakan air irigasi, dua kenyataan getir akan menimpanya. Tanaman padinya bisa mati sebelum panen karena air irigasi telah tercemar air lindi. Kalaupun berhasil dipanen, rasa berasnya akan berbeda jauh dari padi pada umumnya. Karena air yang tercemar, padi yang dipanen terasa sedikit pahit.

Kasmeri pernah mengalami hal itu sekali sebelum akhirnya memutuskan hanya menanam padi sekali dalam setahun. Namun, ia sudah tidak mengingat persis kapan kejadian itu terjadi.

”Sebelum ada TPSA itu bisa 20 karung sekali panen, sekarang paling 5 karung,” katanya.

Meskipun dalam sekali tanam para petani harus merogoh kocek lebih dari Rp2 juta, hasil panen tidak menutupi modal yang mereka keluarkan. Saat ini, lahan-lahan di sekitar TPSA Cilowong yang belum dibebaskan ditawar dengan harga Rp80 ribu hingga Rp100 ribu per meter. Kendati banyak warga yang akhirnya menjual, Kasmeri tetap enggan untuk melepas lahan sawah miliknya karena warisan turun temurun dan satu-satunya sumber mata pencaharian.

“Ya (warga lain) dijual mungkin karena nggak menghasilkan apa-apa. Cuma capek doang,” ujarnya.

Sawah-sawah di Kelurahan Cilowong yang dahulu produktif kini berubah menjadi gunungan sampah yang dipasok dari berbagai wilayah di Kota Serang. Hal serupa juga dialami oleh Tirah. Ia masih setia menanam padi dan merawat ladang miliknya disaat banyak warga melepas lahan untuk perluasan TPSA Cilowong. Meskipun mengandalkan air hujan dan hanya menanam padi sekali dalam setahun, Tirah tetap bertahan.

“Enggak mau (dijual) mending digarap aja,” tuturnya.

Tirah, salah satu petani yang lahannya paling dekat dengan TPSA

Lahan Tirah ke batas TPSA Cilowong hanya berjarak sekitar 20 meter, sehingga bau busuk dari sampah terus membayangi ketika ia menggarap lahan. Sebelum TPSA Cilowong berdiri, sawah milik Tirah biasanya menghasilkan 20 karung padi, namun kini tak sampai 5 karung. Jika dirupiahkan hanya sekitar Rp1,6 juta dari yang sebelumnya bisa meraup Rp6 juta.

“Iya nggak bisa tiga kali panen setahun. Kalau pakai air itu (irigasi), nggak jadi padinya,” katanya.

Petani lain, Husen (63) sejak sekitar tahun 2009 telah menjual sawah seluas 500  meter persegi miliknya dengan harga Rp12.500 per meter. Itu dilakukan lantaran lahan sudah tidak lagi produktif sejak TPSA Cilowong beroperasi pada 1995.

“Kan namanya limbah ya, rumput juga mati. Kalau ditanami padi juga cuma buat padi mati,” ungkapnya.

Lahan yang dimiliki Husen jaraknya sangat dekat dengan area pembuangan sampah. Tak lama setelah ia menjualnya, benar saja lahan tersebut terkena longsoran sampah dari TPSA Cilowong. Ia ingat betul kejadian tersebut, karena meskipun telah dijual, sawah tersebut masih diperbolehkan untuk digarap. Namun nahas, tinggal menghitung hari untuk panen, sawahnya tertimpa longsor.

Sampah dari TPSA Cilowong bukan cuma mencemari irigasi dan lahan pertanian warga. Tapi juga mencemari sumber mata air yang dahulu sempat dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari.

“Airnya bagus, 7 bulan kemarau juga airnya enggak akan kering,” jelas Husen.

Selama ini, TPSA Cilowong menjadi tempat pembuangan akhir dari Kota Serang. Dalam kurun waktu 2021 hingga 2023 Pemkot Serang sempat bekerja sama dengan Kota Tangerang Selatan. Saat ini, TPSA Cilowong telah memiliki luas sekitar 20 hektar. Kendati demikian, Pemkot Serang masih terus melakukan perluasan yang akhirnya menggerus lahan warga.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Serang, Farach Richi menjelaskan, saat ini pengelolaan sampah di TPSA Cilowong sedang dalam tahap perbaikan. Dia membantah pencemaran yang dikeluhkan warga akibat kelalaian tata kelola tempat pembuangan. Melainkan karena proses penataan infrastruktur limbah cair yang masih berlangsung.

“Sebenarnya bukan pencemaran, tapi memang bertahap. Tahun kemarin kami bangun IPAL (instalasi pengelolaan air limbah), sekarang kami buat kolamnya,” terangnya.

Farach menuturkan, DLH Kota Serang juga rutin melakukan pengambilan sampel air lindi setiap bulan untuk memastikan kualitasnya masih dalam batas aman.

“Setiap bulan kita ambil sampel. Hasilnya masih taraf normal, hanya BOD (biological oxygen demand) yang sedikit tinggi,” katanya.

Saluran irigasi yang menghitam diduga tercemar lindi

Menurut dia, sistem pengelolaan air lindi di TPSA Cilowong terdiri atas lima kolam, masing-masing kolam dilengkapi dengan mesin pengelolaan. Sebagian area pengelolaan sampah juga saat ini sudah menerapkan sistem controlled landfill, tetapi masih ada bagian yang masih open dumping.

Tak hanya itu, kata Farach, pengelolaan sampah di TPSA Cilowong juga menggunakan mesin pencacah sampah (pylorisis). Namun belum bekerja secara maksimal.

Direktur Pena Masyarakat Banten, Mad Haer Efendi menilai TPSA Cilowong sudah tidak layak beroperasi. Karena tempat tersebut sudah tidak dapat menampung lebih banyak sampah dan telah menimbulkan banyak persoalan lingkungan di sekitar lokasi TPSA. Pria yang akrab disapa Aeng ini menyebut bahwa pengelolaan lindi di TPSA Cilowong sangat buruk.

“Lindi itu tercerai-berai tidak jelas ke mana. Kapasitas juga sudah lewat ambang batas. Belum lagi dampak ke masyarakat, karena Cilowong sangat dekat dengan pemukiman,” Katanya.

Sejak awal berdiri, kata Aeng, pemkot Serang belum pernah memiliki strategi komprehensif dalam menangani sampah. Langkah Pemkot Serang yang ingin memperluas TPSA Cilowong juga dinilai keliru, karena tidak menyelesaikan masalah dari hulu.

“Sejak awal, Kota Serang belum punya solusi. Sampah itu tidak hilang, malah makin banyak. Ruang terbuka hijau juga semakin menyempit,” imbuhnya.

Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Nindhita Proboretno mengatakan, dengan kandungan berbagai zat berbahaya seperti ammonia, logam berat, dan senyawa organik beracun, air lindi berdampak serius terhadap lahan pertanian. Salah satunya akan mempengaruhi rasa padi hasil panen menjadi pahit.

“Lindi menyebabkan beras terasa pahit bukan karena logam berat memberikan dampak langsung. Tapi karena gangguan kimiawi pada tanah dan metabolisme tanaman akibat paparan lindi tercemar,” pungkasnya.

Secara nasional, tata kelola sampah di Indonesia masih bertumpu pada sistem kumpul, angkut, dan buang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi TPA yang masih open dumping sebenarnya memperlihatkan tata kelola sampah yang tidak berkelanjutan.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024 mencatat sekitar 67,29 persen atau 24,58 juta ton sampah per tahun belum terkelola dengan baik dan berakhir mencemari lingkungan, termasuk laut. Padahal, lebih dari 60 persen sampah di Indonesia merupakan sampah organik yang seharusnya bisa diolah menjadi kompos atau pakan maggot. Namun semuanya tidak terkelola dengan baik.

Dalam jangka panjang, kata Nindhita, upaya pencegahan pencemaran lindi harus dimulai dari hulu. Pemerintah harus mendorong pemilahan sampah sejak dari rumah tangga dan mengurangi volume sampah yang masuk ke TPSA.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah secara eksplisit menyebut bahwa pengelolaan sampah harus menyeluruh, berkelanjutan, dan mengedepankan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).

“Semakin sedikit sampah masuk ke TPSA, semakin kecil pula potensi terbentuknya air lindi berbahaya,” tutur Nindhita.

Penulis:

Tim Jurnalis Warga Surosowan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here