Peristiwa Mei 1998 menjadi periode kelam dalam pembabakan sejarah Indonesia. Di balik narasi reformasi untuk menumbangkan Orde Baru, ada kisah kelam yang nyaris jarang disuarakan. Yaitu kisah perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan berbau rasial berupa kekerasan seksual.
Jakarta – Di laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menyelidiki kerusuhan Mei 98 termasuk kasus perkosaan menemukan 52 orang perempuan menjadi korban. Itu dilakukan sepanjang 13-15 Mei di Jakarta dan sekitarnya.
Tapi, data itu berbeda dari yang dikumpulkan tim Relawan untuk Kemanusiaan yang mencatat jumlah korban pemerkosaan justru sebanyak 103 orang. Ada 1 orang di antaranya meninggal dunia sepanjang 13 Mei-3 Juli. Data ini adalah yang terverifikasi tim. Bisa jadi, jumlahnya lebih dari itu karena sebetulnya banyak yang tidak terungkap.
“Dari sejumlah kasus yang dapat diverifikasi dapat disimpulkan telah terjadi perkosaan yang dilakukan terhadap sejumlah perempuan dan sejumlah pelaku di berbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan, dapat terjadi secara spontan karena situasinya mendukung atau direkayasa oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu. Korban adalah penduduk Indonesia dengan berbagai latar belakang, yang di antaranya kebanyakan adalah etnis Cina,” tulis TGPF dalam laporan yang terbit tahun 1999.
Tubuh para perempuan itu diperkosa, dipukuli, bahkan dibakar. Banyak yang menjadi korban di jalan, tak sedikit pula yang mengalaminya di rumah sendiri. Di ruang yang seharusnya paling aman. Bahkan pada beberapa kasus, pelaku melakukan aksi pemerkosaan di depan anggota keluarga korban sendiri. Trauma yang korban dan keluarga alami semakin dalam dengan adanya aksi penjarahan.

27 tahun berlalu dari peristiwa kelam itu, eks Koordinator Pendataan dan Investigasi pada Tim Relawan untuk Kemanusiaan sekaligus anggota Tim Asistensi TGPF, Sri Palupi tidak melihat ada perkembangan dari kasus ini. Perempuan yang menjadi korban sampai saat ini tak kunjung mendapat keadilan.
Negara tidak pernah mengakui terjadinya kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 98. Pelaku tidak pernah dihukum dan tak pernah ada pemulihan kepada para korban.
“Diakui saja belum bagimana dapat pemulihan. Ada kasus perkosaan dalam kerusuhan Mei 98 saja belum diakui. Buat mereka (negara) nggak masuk akal memperkosa di tengah kerusuhan,” kata Sri ditemui ketika Aksi Kamisan di Jakarta pada Kamis (15/5/2025).
Sri bilang, banyak korban memilih bungkam bukan karena mereka tidak ingin bersuara, tapi karena tidak ada ruang untuk suara mereka. Korban dibungkam oleh trauma, rasa takut, stigma masyarakat, dan oleh sistem hukum yang lebih sering meragukan daripada melindungi korban.
Sebenarnya, presiden pengganti Soeharto kala itu, Bj Habibie sudah mengeluarkan pernyataan resmi yang mengutuk aksi ini terulang kembali. Namun, tanpa proses hukum yang jelas, pernyataan itu tidak berarti banyak.
“Untuk hal itu, saya menyatakan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia,” kata Bj Habibie di Jakarta, 15 Juli 1998.
“Iya, Habibie kala itu meminta maaf dan membentuk Komnas Perempuan juga kan, tapi itu lebih sebagai pribadi presiden bukan sebagai institusi negara karena di bawah dia DPR semua melawan fakta, semua ingin mengaburkan fakta, padahal ada banyak kesaksian dari keluarga korban, saksi mata, dokter, psikolog, psikiater yang mendampingi korban,” jelasnya.
Hingga kini, tidak ada satu pun pihak yang berkuasa di pemerintahan saat itu mempertanggungjawabkan peristiwa tersebut. Nama-nama seperti Soeharto yang saat itu presiden, Wiranto sebagai Panglima ABRI, atau Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad dan lainnya tetap tak tersentuh hukum.
Sri pesimis kasus ini akan terungkap. Terlebih lagi para penanggung jawab saat peristiwa Mei 98 kini justru memegang jabatan penting. Karena itu, menjaga ingatan kolektif atas luka ini menjadi satu-satunya cara untuk terus menuntut keadilan.
Gerakan rakyat dan mahasiswa menurutunya harus tetap kuat, solid, dan tidak mudah dipecah belah. Terutama saat momentum politik seperti Pemilu, penting untuk tidak memilih pemimpin dengan rekam jejak pelanggaran HAM berat.
“Mahasiswa punya peran penting di dalam kenegaraan, maka harus mempelajari ini (sejarah). Ikut terlibat membangun solidaritas kepada korban dan warga masyarakat,” jelasnya.
Mengingat dan menyuarakan memori kelam bukan berarti enggan bangkit dari masa lalu, melainkan bentuk harapan akan terciptanya rasa aman di masa depan—sebab melupakan sejarah hanya akan membiarkan luka tetap terbuka.
Penulis:
Fathul Rizkoh, Jurnalis Warga Surosowan