Rencana pemerintah menetapkan kawasan Gunung Endut, Lebak, sebagai lokasi proyek panas bumi mulai memantik kecemasan warga adat. Meski baru tahap perencanaan, pengeboran sampel sudah dilakukan. Di banyak daerah, penolakan terhadap proyek serupa berlangsung masif. Geotermal dianggap hanya menjadi solusi palsu yang dibungkus jargon kedaulatan energi.
Narasi energi rendah karbon yang dikampanyekan pemerintah berbanding terbalik dengan realitas di lapangan: rendah emisi, tinggi korban. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) terus dipromosikan sebagai energi bersih dan alternatif dari pembangkit berbahan bakar fosil seperti PLTU batubara. Namun, di balik slogan keberlanjutan itu, jejaknya menyisakan kerusakan ekosistem serta ancaman bagi masyarakat yang tinggal di lingkar proyek.
Di wilayah Lebak, setidaknya terdapat dua titik yang telah diuji. Wilayah tersebut berada di Desa Sobang dan Desa Jagaraksa. Kedua titik tersebut dekat dengan dua kasepuhan adat yaitu Kasepuhan Karang dan Kasepuhan Pasireurih. Mayoritas warga disana memanfaatkan hasil tani, sementara sebagian kecil lainnya memilih berdagang. Dari sumber ekonomi tersebut masyarakat dapat hidup hingga menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku perguruan tinggi.
Label “energi hijau” untuk geotermal sejatinya tidak lebih dari ilusi bisnis. Sebelum 2014, pengusahaan panas bumi dikategorikan sebagai aktivitas pertambangan, status yang kemudian dihapus pemerintah. Namun pola eksploitasinya tak banyak berubah. Laporan investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat geotermal di sejumlah daerah telah memicu kerusakan lingkungan dan menimbulkan korban.
Di Flores, aktivitas pengeboran menyebabkan penyakit kulit, pencemaran air, hingga amblesnya tanah di dekat permukiman. Di Dieng, operasi PLTPB menimbulkan polusi hidrogen sulfida (H₂S) dan memicu kegagalan panen petani. Laporan investigasi Project Multatuli menunjukkan gempa kerap terjadi di kawasan tersebut. BMKG menyebut episentrum gempa berada di dataran tinggi Dieng dan berkaitan dengan aktivitas sesar aktif, namun warga yakin intensitasnya berkelindan dengan pengeboran panas bumi.
Di tingkat global, sejumlah penelitian membuktikan korelasi antara aktivitas geotermal dan gempa bumi. Peneliti geologi dari Universitas Utrecht dalam kajiannya, “Dampak Negatif Energi Geothermal terhadap Lingkungan”, mencatat gempa buatan proyek panas bumi umumnya berada di bawah 5 Skala Richter. Kasus Basel, Swiss, pada 2006 menjadi contoh yang mencolok hingga berujung pada penutupan proyek tersebut.
Rangkaian peristiwa itu kini menghantui masyarakat adat di Lebak yang sebagian besar bergantung pada pertanian. Kekhawatiran mereka bukan tanpa dasar. Sekitar 90 kilometer dari titik pengeboran sampel di Sobang, warga Padarincang pernah melakukan penolakan masif terhadap rencana pembangunan PLTPB. Mereka menyebut proyek tersebut sebagai ancaman terhadap ruang hidup.
Di banyak tempat, rencana pembangunan geotermal kerap disertai minimnya sosialisasi dan adanya intimidasi—baik oleh aparat maupun kelompok bayaran—untuk memuluskan proyek. Sulit membenarkan klaim pemerintah yang menyebut geotermal sebagai solusi, jika pelaksanaannya ditandai kekerasan, resiko kerusakan ekosistem, dan penyusutan ruang hidup masyarakat.
Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya alam memang adalah sebuah anugerah, namun jika terus diekstraksi hal tersebut akan menjadi sebuah kutukan. Di dunia yang sudah maju dan melek terhadap teknologi dan inovasi semestinya praktik pengembangan dan ekspansi energi kotor (serta PLTPB) dihentikan. Masih banyak energi bersih yang bisa digunakan tanpa harus mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Tanpa evaluasi serius terhadap proyek yang telah berjalan, ancaman terhadap kehidupan warga akan terus berulang. Transisi energi bersih mestinya bukan sekedar ajang formalitas menjawab tantangan iklim dengan solusi palsu. Lebih dari itu, prosesnya juga mesti adil dan berkelanjutan.
Penulis:
M Ali Taufan/Aktivis Lingkungan dan Jurnalis Warga Surosowan

