Site icon Surosowan.id

Kemandirian Pangan Kasepuhan Karang di Pusaran Energi Panas

Tanah adat di Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak.

Lebak-Jauh sebelum rezim Soeharto menggembar-gemborkan program ketahanan pangan, sejumlah masyarakat adat di Indonesia telah lebih dulu mempraktikkannya. Kasepuhan Karang di Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, menjadi salah satu contohnya.

Een Suryani, salah satu tokoh perempuan adat di Kasepuhan Karang, bercerita bahwa di kampungnya mereka mempunyai leuit atau bangunan penyimpanan padi yang mampu menyimpan persediaan pangan hingga 40 tahun ke depan.

“Warisan dari leluhur kami itu tidak diwariskan berupa emas, mobil atau segala macam. Kami hanya punya tanah yang kami kelola dan ditanami padi,” kata Een saat ditemui pada pertengahan Agustus lalu.

Setiap musim panen, padi yang berhasil dikumpulkan tidak langsung dijual. Sejak dahulu, ajaran turun-temurun dari orang tua mereka adalah menyimpan padi di leuit terlebih dahulu agar ketika masa paceklik tiba, masyarakat Kasepuhan masih memiliki cadangan pangan.

Meski tetap diperbolehkan menjual hasil panen, pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat harus didahulukan. Ajaran turun-temurun itu, kata Een, memang bertujuan baik.

“Kami itu kalau harga beras naik segala macam ga peduli karena kami sudah punya cadangan. Karena kan kami hidup dari alam makanya mata pencaharian kami juga semua dari alam,” ujarnya.

Ketakutan akan hancurnya cadangan pangan di leuit karena hama juga telah diantisipasi. Para tetua Kasepuhan Karang mewariskan pengetahuan bahwa setiap leuit harus dialasi daun pisang kole dan daun teureup.

Belakangan, Een mengetahui penjelasan ilmiah mengenai fungsi dua daun itu dari seorang ahli Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sempat berkunjung. Katanya, kedua daun tersebut memang berperan baik dalam mengawetkan cadangan pangan.

“Kami hanya ngikut-ngikut (perintah orang tua) aja,” ujarnya.

Saat ditanya soal kabar pembangunan proyek geotermal di sekitar Kasepuhan, Een mengaku belum pernah mendengar kabar apa pun. Padahal, Gunung Endut di Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak telah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan potensi 61 megawatt elektrik (MWe) dan bahkan sudah terdapat beberapa titik pengeboran.

Namun, hingga kini tidak ada komunikasi dari pihak mana pun mengenai aktivitas tersebut, meski proyek itu disebut-sebut sudah memasuki tahap eksplorasi.

“Kami juga kurang dapat informasi, mungkin kalau ada rapat (di desa) apa enggaknya gatau. Tapi kalau izin ke Abah Sanwani (tetua Kasepuhan Karang) tidak ada,” ucapnya.

Een merasa khawatir proyek tersebut dibangun di tanah adat mereka. Menurutnya, dulu sempat ada wilayah adat yang diduga mengandung mineral berharga. Namun, wilayah itu tidak diizinkan untuk ditambang meski disebut bisa membawa keuntungan ekonomi bagi warga.

“Kata Abah, iya kalian punya emas, punya uang, tapi belum tentu punya padi dan pohon. Kan kita hidup dari alam, kalau pohonnya rusak bagaimana?” tuturnya.

Kekhawatiran serupa muncul jika proyek geotermal benar-benar dibangun di tanah adat mereka. Ancaman terbesar adalah kerusakan ekologis, sebab keberhasilan panen padi sangat bergantung pada kelestarian hutan adat. Bila hutan rusak, sumber air akan hilang dan gagal panen pun mengancam.

“Karena kami kan minum dari mata air, enggak kaya orang kota minumnya beli. Kalau kami enggak, tapi ngambil sendiri dari mata air (lalu) kalau misalkan alamnya dirusak dari mana kami minum dan makan?,” ujarnya.

Een menyadari, pembangunan yang digagas pemerintah jarang melibatkan persetujuan warga setempat sebagai penghuni asli. Padahal, merekalah yang pertama akan merasakan langsung dampak dari setiap proyek yang dijalankan.

“Kalau izin mungkin kami tolak, (dikhawatirkan) merusak karena tanah kan dibor gitu,” pungkasnya.

Senada dengan Een, Abah Sanwani, tetua Kasepuhan Karang, juga mengaku tidak mengetahui sama sekali mengenai proyek geotermal di wilayah mereka.

“Saya tidak tahu sama sekali soal itu,” ujarnya.

Penulis:

Tim Jurnalis Warga Surosowan.id

Exit mobile version