Pendidikan Kewarganegaraan merupakan cara pemerintah memberikan pemahaman kepada warga negaranya agar selalu cinta tanah air. Pendidikan ini dikenalkan pertama kali oleh Amerika Serikat pada tahun 1970 sebagai bentuk preventif terhadap ancaman yang dapat menghancurkan entitas negara. Lebih akrab dikenal dengan sebutan Civic Education. Secara umum, tujuannya membentuk good citizen. Di Indonesia, Presiden Soekarno pertama kali mengenalkanya dengan sebutan civic.
Kemudian, Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan sejak masa pendidikan sekolah hingga perguruan tinggi di Indonesia. Tujuannya untuk mengembangkan karakter, kepribadian, cinta tanah air serta nilai luhur bangsa.
Bahkan termasuk pemahaman atas hak dan kewajiban yang mesti dijalankan seirama dengan UUD 1945 dan Pancasila. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara dapat menyikapi fenomena sosial yang sedang berlangsung yang berkembang seiring dengan perkembangan politik, hukum, dan Hak Asasi Manusia.
Salah satu bentuk pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan dapat diukur dengan bagaimana melihat fenomena dan aktivitas yang dilakukan oleh warga negara. Jika acuh pada fenomena sosial yang terjadi pada kondisi negaranya, maka Pendidikan Kewarganegaraan bisa jadi tidak berjalan dengan baik. Atau bahkan sama sekali tidak memahami bagaimana peran warga negara pada kondisi negara yang ia tempati. Dalam tulisan ini, penulis memberikan pandangan kewarganegaraan dalam sektor lingkungan hidup.
Di Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat 3 menegaskan “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Hal tersebut dipertegas dan dikuatkan dalam Pasal 28 H Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Namun fakta yang umum terjadi adalah ketidakselarasan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan dengan kondisi saat ini. Pemerintah kadang menjadi dalang di balik penghancuran lingkungan hidup yang berdampak pada hajat bersama masyarakat melalui kebijakan. Di sisi lain pemerintah menawarkan konsep kewarganegaraan agar kita cinta terhadap tanah air, tapi juga memberikan kerangka kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan hidup.
Merujuk pada pendapat Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, ia mengungkapkan bahwa sepanjang 10 tahun memimpin Indonesia, Jokowi katanya memecahkan rekor sebagai presiden yang melahirkan letusan konflik agraria tertinggi sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia.
Jika dikalkulasikan sejak 2015-2024, sedikitnya terjadi 3.234 konflik dengan luas mencapai 7.422.838,47 hektare dan korban sebanyak 1.826.744 keluarga. Sepanjang periode 2015-2024 juga, KPA mencatat terjadi 2.841 kasus kriminalisasi, 1.054 kasus penganiayaan, 88 orang tertembak dan 79 tewas. Pada 100 hari masa kerja Presiden Prabowo juga melahirkan 63 letupan konflik agraria di tengah masyarakat.
Pada akhirnya konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang ditawarkan oleh pemerintah justru tidak lebih hanya sebatas tulisan tanpa implementasi yang bermakna. Masyarakat yang menolak pembangunan yang merusak lingkungan hidup dianggap sebagai ancaman jalannya investasi. Sering kita jumpai misalnya pemberitaan atau viralnya masyarakat yang dikriminalisasi, diintimidasi bahkan dianiaya hanya karena ingin mempertahankan ruang hidupnya.
Penulis:
Muhammad Ali Taufan, Aktivis Pena Masyarakat