Site icon Surosowan.id

Warga di Pulau Sangiang: Tiga Dekade Bertahan Lawan Penggusuran

Aksi menuntut keadilan bagi warga Pulau Sangiang (Foto: Rasyid Sidik)

“Banyak yang pergi karena lelah, karena intimidasi,” kata Sofian Sauri, warga yang bertahan di Pulau Sangiang.

Serang – Di balik ekosistem eksotis Pulau Sangiang di Selat Sunda, ada luka yang dari beberapa dekade lalu yang tak kunjung sembuh. Luka yang dimualai pada 1994. Bermula dari janji investasi perusahaan bernama PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) yang berujung pada nestapa warga.

Rencana investasi oleh perusahaan itu menjadikan tanah di sebagian besar pulau menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) milik perusahaan. Rumah yang tadinya ditinggali warga semakin menyusut. Kebun yang tadinya jadi lahan garapan semakin ditinggali. Dari 120, saat ini tersisa hanya 20 kepala keluarga.

“Banyak yang pergi karena lelah, karena intimidasi,” ujar Sofian yang juga tokoh masyarakat di Pulau Sangiang.

Masyarakat memang diberi uang kerahiman oleh perusahaan. Tapi menurutnya, itu menjadi upaya perusahaan untuk menggusur warga lokal secara lembut. “Tapi itu cara halus untuk mengusir,” katanya.

Mata Sofian menyala meski terdengar nada bicaranya yang lirih saat ditemui pada Selasa (20/5)/2025). Ia ingat, intimidasi memang tak melulu berbentuk kekerasan secara fisik. Kadang berupa uang, kadang berupa binatang asing yang tiba-tiba muncul di ladang, ular kobra, babi hutan yang justru bukan hewan spesies alami pulau.

“Binatang itu bukan bagian dari pulau ini. Mereka datang setelah konflik bermula,” tuturnya.

Warga tak pernah benar-benar diberi ruang bicara. Sejak awal, kehadiran PT PKP lebih banyak menyisakan tanda tanya. Pembangunan yang dijanjikan tak pernah menyentuh warga.

Begitupun nampak jelas pada fasilitas kesehatan yang nyaris tak ada. Akses pendidikan layak dan listrik tidak ada di pulau ini. Kecuali panel surya yang dibuat relawan yang masih peduli pada warga di pulau.

“Pemerintah datang hanya saat bencana, Setelah itu mereka pergi,” tegas Direktur Pena Masyarakat Mad Haer Effendi.

Mad Haer memang selama ini menjadi pendamping bagi warga di pulau. Sejak 2017, ia mendampingi warga termasuk memediasi dengan berbagai pihak.

Termasuk mediasi warga dengan Kantor ATR/BPN Kabupaten Serang. Warga pulau yang tersisa sepakat menolak perpanjangan HGB PT PKP. “ATR/BPN Serang seolah tak sanggup menatap luka yang telah mereka biarkan selama tiga dekade,” kata Mad Haer.

Tapi, kuasa hukum PT PKP menyebut penguasaan atas tanah mereka berupa HGB di Sangiang itu sah. Investasi menurut mereka harus dilakukan karena perusahaan yang terikat dengan perjanjian.

“Kita sudah berinvestasi, ada kepentingan bank. Wisata harus jalan terus,” ujarnya.

Ia juga membantah tuduhan intimidasi kepada warga pulau. “Kalau intimidasi, tunjuk siapa yang melakukannya. Sekarang orang lapangan kami cuma tiga. Kalau ada kesalahan dua puluh tahun lalu, itu masa lalu,” katanya.

Namun bisa jadi bagi warga, masa lalu tak bisa dikubur begitu saja. Ia hidup dalam bentuk ingatan. Mereka tak pernah menolak pembangunan tapi menolak hilangnya penghidupan. Pulau Sangiang bukan sekadar aset wisata, bagi sebagian warga itu adalah rumah dan kehidupan.

Penulis:
Rasyid Sidik, Jurnalis Warga Surosowan

Exit mobile version