Arniah (29) sudah merasakan firasat tak enak. Hujan deras yang mengguyur Kampung Cikoneng di Desa Batukuwung, Kecamatan Padarincang usai salat tarawih tak ada tanda akan reda.
Serang – Rintik hujan yang jatuh di atap rumah Arniah malam itu nyaring di telinganya. Sekelebatan cahaya petir sesekali masuk melalui celah dari jendela. Arniah makin gelisah. Di malam Jumat pada 7 Maret 2025 itu firasatnya terbukti. Air mulai masuk dan menggenang sekitar empat jam.
Sedikit lega, Arniah mencoba membersihkan sisa-sisa banjir ditemani dua buah hatinya yang masih berusia tiga dan tujuh tahun. Tapi, usai lantainya sedikit kering, hujan kembali mengguyur dengan intensitas yang lebih deras.
Khawatir ada banjir susulan, ia lalu mengungsi ke orang tuanya, beberapa ratus meter dari rumahnya. Benar saja, pada pukul 02.00 pagi, banjir datang kembali dengan kekuatan arus yang lebih kuat dengan ketinggian air hampir sedada orang dewasa.
Kali ini banjir tidak datang sendiri. Ia membawa batang pohon besar yang akarnya masih menempel. Batang itu diduga terbawa dari longsor yang terjadi di hulu sungai Gunung Prakasak diduga tak jauh dari proyek geothermal.
Batang pohon itu menghantam tiang rumah Arniah yang seketika juga roboh. Air masuk semakin dalam ke rumah itu dan membawa lemari pakaian berisi baju lebaran anak-anaknya. Hingga kini, ia tidak tahu di mana keberadaan lemari itu. Perabotan rumah lainnya pun ikut hilang tak tersisa.
“(Penyebab rumahnya roboh) kayu gede banget tapi dapat motong tinggal akarnya doang terus nimpa ke situ (rumah),” kata Arniah saat ditemui di kontrakannya pada Minggu (18/5/2025).
Tiga bulan pasca peristiwa itu, Arniah kini tinggal di kontrakan petak yang masih berlokasi di Kampung Cikoneng. Dia belum didata untuk mendapatkan bantuan setelah bencana banjir.

Peristiwa banjir itu katanya merupakan yang terdahsyat. Di kampungnya memang kerap terjadi banjir karena lokasinya berada di samping aliran sungai. Kata dia, sebelum adanya proyek geothermal yang sekarang mangkrak, banjir tidak pernah sebesar itu apalagi membawa sebatang pohon.
Jarak kampung Arniah dengan proyek tersebut sendiri hanya 4 kilometeran. Letaknya berada di kaki gunung. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pernah mengatakan akibat proyek geothermal, ada pembukaan lahan seluas 1 hektare yang membabat hutan.
“Kalau (proyek) ga di-stop takutnya gini lagi. Kata orang-orang, di (dekat lokasi proyek) jebol (longsor) makanya jadi turun ke sini (batang pohon),” ujar Arniah.
Hingga kini, Arniah hanya bisa memandangi sisa-sisa reruntuhan rumahnya. Sudah belasan orang datang dan beberapa wartawan mewawancarainya usai kejadian tersebut. Tapi hingga saat ini, Arniah masih tak tersentuh bantuan pemerintah daerah.
Pendataan memang dilakukan, foto-foto kerusakan diambil, namun hingga kini belum ada realisasi yang nyata.
“Nggak pernah ada bantuan, paling setelah beberapa hari (usai banjir) ada bantuan dari desa, dikasih sembako,” ucapnya.
Penulis:
Audi Kusuma, Jurnalis Warga Surosowan