Site icon Surosowan.id

Membaca Novel George Orwell dan Upaya Prabowo Menulis Ulang Sejarah Indonesia

ilustrasi

Dalam novel 1984, George Orwell menggambarkan sebuah rezim totaliter yang mengendalikan kebenaran melalui manipulasi sejarah dan bahasa. Di dunia fiksi tersebut, “Big Brother” memimpin dengan tangan besi. Kekuasaannya ditopang berbagai kementerian yang namanya bertolak belakang. Salah satunya, Kementerian Kebenaran yang bertugas mengubah catatan sejarah agar selalu selaras dengan narasi kekuasaan.

Winston Smith, tokoh utama dalam cerita ini, bekerja di Kementerian Kebenaran. Ia bertugas menghapus dan menulis ulang dokumen sejarah untuk memastikan bahwa masa lalu selalu mendukung kebijakan Big Brother-pemerintah yang sedang berkuasa. Pekerjaan Smith dalam manipulasi sejarah bukan hanya soal mengubah dokumen, tetapi juga menciptakan kenyataan baru yang harus diterima sebagai kebenaran mutlak.

Semua orang di negara Oceania harus patuh pada Big Brother. Banyak mata-telinga yang selalu mengawasi. Para pemberontak yang menolak kebijakan Big Brother–meski baru dipikirkan–akan segera ditangkap polisi pikiran dan dijebloskan ke Kementerian Kasih. Melalui penyiksaan, mereka dipaksa menerima kebohongan sebagai kebenaran yang dibuat Big Brother.

Tentu saja, situasi Indonesia tidak identik dengan dunia Oceania di novel 1984. Namun, kecenderungan untuk mengendalikan narasi sejarah demi kepentingan kekuasaan patut diawasi.

Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto berencana merevisi sejarah Indonesia.(1) Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut proyek penulisan akan fokus pada periode prasejarah, dan penambahan catatan sejarah dari pemerintahan yang lalu. Proyek yang melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari pelbagai Universitas di Indonesia ini ditargetkan rampung pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun di tahun 2025 ini.

Sebenarnya, upaya merevisi sejarah bisa menjadi langkah positif. Bisa jadi, ini adalah kesempatan untuk merekonstruksi narasi sejarah Indonesia yang selama ini dianggap timpang atau tidak adil, terutama terkait peristiwa 1965, reformasi 1998, dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya. Tanpa rekonstruksi sejarah yang jujur dan menyeluruh, kebenaran akan terus terkubur dan impunitas akan terus berlangsung.

Namun, apakah upaya Prabowo merevisi sejarah ini bertujuan mengungkap kebenaran atau justru membentuk narasi yang lebih menguntungkan bagi kekuasaan saat ini?

Perlu diingat, pada tahun 1998, Prabowo yang berpangkat Letnan Jenderal Pangkostrad terlibat kasus penculikan aktivis 1997-1998 bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kasus ini membuat Prabowo diberhentikan dari institusi ABRI.(2) Prabowo mengakui keterlibatannya menculik para aktivis atas dasar ‘perintah’, namun pemberhentian dirinya selalu disanggah sebagai sanksi.

Sementara itu, keluarga para korban pelanggaran HAM berat masih menuntut keadilan. Lewat aksi Kamisan yang telah berlangsung 18 tahun lalu di depan Istana Negara, Jakarta, keluarga korban dan gerakan masyarakat masih menuntut pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan.

Alih-alih menyelesaikan kasus tersebut, Prabowo justru berwacana memberikan gelar pahlawan kepada 9 orang, salah satunya Presiden kedua Indonesia, Soeharto yang merupakan eks mertuanya.(3) Wacana ini bisa menjadi upaya Prabowo mengubah fakta atas apa yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto, membuatnya seolah-olah tidak ada yang salah dengan masa lalu. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya membangun ulang citra masa lalu sebagai sesuatu yang heroik dan bersih, padahal banyak luka sejarah yang belum dipulihkan.

Wacana menulis ulang sejarah Indonesia penting untuk tetap dikritisi agar tidak jatuh ke dalam perangkap seperti dalam dunia 1984. Proses penulisan sejarah harus melibatkan berbagai perspektif, termasuk suara korban dan kelompok yang selama ini dipinggirkan.

Sejarah harus ditulis dengan kejujuran, inklusivitas, dan komitmen terhadap kebenaran, bukan untuk kepentingan politik sesaat. Penting untuk mengingat bahwa sejarah bukanlah milik satu kelompok atau rezim tertentu. Sejarah adalah milik bangsa, dan hanya dengan memahami dan mengakui seluruh aspek sejarah (luka, konflik, keberanian), kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan adil.

Penulis:

Fathul Rizkoh, jurnalis sekaligus founder Menjejak Lebak, komunitas walking tour sejarah, budaya dan alam.

Exit mobile version