Sebagai masyarakat dengan tradisi lisan, Baduy menghadapi tantangan perkembangan modernisasi. Tradisinya saat ini dibayangi gempuran perkembangan teknologi informasi. Media sosial disinyalir bisa menggerus tradisi yang sudah turun-menurun itu.
Serang – Upaya menghadang perkembangan teknologi informasi di Baduy pernah dilakukan pada 2023. Tetua adat warga Kanekes melalui Jaro Pamarentah meminta agar daerahnya sebagai kawasan tanpa sinyal internet atau blank spot. Alasannya, ada banyak kawasan yang dianggap suci tidak untuk dikunjungi apalagi direkam untuk disebar.
Kekhawatiran itu muncul karena belakangan tiktoker, selebgram dan youtuber masuk lebih dalam pada bagian yang dianggap ‘tabu’ di Baduy. Bahkan, warga Baduy Luar juga banyak menjadi primadona di media sosial dan sering diekspos berlebihan oleh wisatawan.
Gambaran ancaman teknologi itu terlihat saat Seba pada Sabtu (3/5) lalu di Kota Serang. Warga Baduy yang datang dari kawasan hutan ke kota tapi nampak mahir memegang handphone. Ada yang merekam suasana kota dan fokus memperhatikan handphonenya.
Beberapa dekade lalu, bisa jadi pemandangan itu tidak pernah diprediksi oleh para tetua Baduy. Kini, teknologi tidak hanya ditemukan di Silicon Valley tapi juga merayap masuk ke rumah Urang Kanekes. Kemudahan mengakses informasi dan hiburan di ujung jari tampaknya menjadi godaaan yang sulit ditolak, bahkan oleh masyarakat Baduy sekali pun yang secara adat memilih menjauhi dunia modern.
Ditemui usai acara Seba Baduy, Jaro Oom mencoba bersikap bijak atas fenomena gempuran teknologi. Ia tidak menampik kekhawatiran dampak lunturnya adat istiadat mereka. Dia menilai teknologi seperti dua mata pisau. Haruslah pandai orang menggunakannya.
“Masalah tradisi budaya itu ada juga sistem kelunturan atau kepudaran tapi mudah mudahan generasi mendatang itu bisa menjaga budaya istiadat kami,” kata Oom.
Masyarakat Baduy memang hidup dari petuah tetua yang perkataannya menjadi landasan. Aturan adat, tata cara kehidupanya tersimpan dalam ingatan kolektif (pikukuh) yang diwariskan melalui untaian kata dari generasi ke generasi.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI) Cecep Eka Permana mengatakan, selama ini budaya lisan masyarakat Baduy terbukti membuat mereka bisa bertahan hidup selama berabad-abad. Tapi permasalahan kemudian muncul jika generasi muda Baduy lebih fasih berbahasa Indonesia karena segala pengetahuan dituturkan dalam Bahasa Sunda Baduy.
Kecemasan itu dirasakan Cecep ketika beberapa tahun ke belakang, ia melihat anak-anak di Baduy yang sudah jarang menggunakan bahasa mereka sendiri. Dugaan Cecep, itu dampak dari penggunaan handphone yang memungkinkan anak-anak lebih rutin terpapar konten dengan Bahasa Indonesia.
“Orang dari pusat bahasa senang (karena) orang Baduy sudah bisa Bahasa Indonesia, tapi secara budaya repot ini. Bahasa Ibu semakin lama semakin hilang karena tergantikan, ini memang dua mata pisau dan itu yang terjadi karena dampak dari modernisasi dan sifat kebudayaan kan dinamis tapi perlu antisipasi ke depan,” kata Cecep.
Saat orang Baduy sudah tidak mengerti bahasa mereka sendiri, otomatis segala pengetahuan yang dituturkan para tetua dalam bahasa Sunda, akan luntur. Pelestarian bahasa menjadi sangat penting agar pengetahuan yang diturunkan bisa terus diterima generasi berikutnya
“Itu akan mengancam pengetahuan dari leluhur dan itu akan hilang, karena itu tertulis dalam bahasa asalnya, maka ungkapan-ungkapan atau nilai yang ditanamkan tidak akan sampai karena sulit menerjemahkan dari bahasa asli ke bahasa umum,” pungkasnya.
Penulis:
Audindra Kusuma, Jurnalis Warga Surosowan