Ilustrasi pendididikan di kelompok khusus

Serang -Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK kerap dipersepsikan tidak memiliki hasrat seksual. Padahal, ABK sejatinya memiliki hasrat seksual seperti individu reguler. Lalu, apakah perlu pendidikan seksual bagi kelompok ini? Lantas, bagaimana cara penerapan pendidikan seksual di mana norma biasa pada individu reguler lebih mudah diajarkan misalnya melalui pendidikan agama atau nilai yang ada di masyarakat.

Hal menarik justri disampaikan Toni Yudha Pratama, akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) sekaligus pegiat pendidikan seksual bagi ABK. Menurutnya, atmosfer pendidikan seks di Kota Serang dianggap tidak sehat.

Menurutnya, ABK sebagai kelompok rentan kerap menjadi target pelecehan seksual. Termasuk misalnya di lingkungan sekolah. Ini bisa jadi karena dipantik oleh mispersepsi tentang masyarakat mengenai pendidikan seks. Bukan hanya untuk ABK, tapi juga masyarakat pada umumnya.

“Orang masih banyak menganggap tabu. Juga, Pendidikan Seksual dianggap porno saja. Tidak baik. Bahkan disebutnya dengan istilah kesehatan reproduksi. Padahal secara koridor berbeda” papar Toni.

Selain itu, pendidikan seks yang dianggap tabu juga menjadi faktor terhambatnya akses informasi mengenai ini. Padahal, justru itu bisa saja menjadi penghambat pemahaman mengenai pentingnya pendidikan.

Di samping itu, tantangan pendidikan seks juga mendapatkan hambatan misalnya dalam hal penggunaan istilah di ranah ini. Tenaga pendidik juga ragu dalam mengimplementasikan jenis pendidikan ini di tengah masyarakat.

Padahal, jika tujuannya adalah adalah menanamkan nilai preventif, pendidikan seks diharapkan mampu menanamkan kesadaran bagi anak. Termasuk bisa menjadi upaya bagi pencegahan pelecehan seksual yang bisa saja dilakukan oleh siapapun.

“Gunakan istilah-istilah yang sesuai saja. Toh, juga bukan dalam konteks mengolok-ngolok. Konteksnya pendidikan” tambah Toni.

Mengutip yang disampaikan oleh June Low, bahwa pendidikan seks secara komprehensif bukan bentuk dorongan pemahaman berupa melakukan hubungan seksual. Pendidikan ini bukan hanya fokus pada materi biologi tapi juga mencakup aspek kognitif, emosional, fisik dan sosial.

“Mereka belajar tentang consent dan safety di dalam pendidikan seksualitas komprehensif. Mereka juga belajar tentang seperti apa perilaku yang buruk di dalam suatu hubungan,” jelas pendiri platform edukasi Good Sex Education itu.

Penulis:
Nadira Kanza, Jurusan Pendidikan Khusus Untirta sekaligus anggota Jurnalis Warga Surosowan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here