Serang – Sejarah tidak pernah ditulis oleh mereka yang duduk nyaman dalam kekuasaan. Sejarah ditulis oleh mereka yang berani menantang arus, yang tahu bahwa pikirannya lebih tajam dari pedang, dan yang rela kehilangan segalanya demi kebenaran. Inilah inti dari cerita Orb: On the Movements of the Earth. Anime yang bukan sekadar tontonan, tapi kritik bagi kita yang hidup di era informasi namun memilih bungkam.
Anime ini mengambil latar Eropa abad pertengahan. Masa ketika Gereja bukan sekadar tempat ibadah, melainkan pusat kontrol atas akal dan nyawa. Segala sesuatu yang tidak sejalan dengan doktrin dianggap bidah.
Di balik kemapanan palsu itu, muncullah Rafal, bocah jenius yang lebih percaya pada bintang-bintang daripada kitab yang dihafal tanpa berpikir. Pada usia 12 tahun, ia sudah membaca langit dan menyadari bahwa bumi bukan pusat semesta. Tapi seperti semua pembawa cahaya di tengah kegelapan, Rafal diburu, disiksa, dan akhirnya memilih mati dalam keyakinan.
Tapi Orb tidak berhenti di Rafal. Karena ide tidak pernah berakhir dengan jasad. Justru setelah kematian Rafal, semangat pencarian kebenaran berpindah tangan. Dari Hubert ke Rafal, dari Rafal ke Oczy, dari Oczy ke Gras dan Jolenta. Mereka bukan super hero. Mereka orang biasa dengan ketakutan dan luka. Tapi semangat itu meyakinkan mereka berpikir dan bertindak ketika mayoritas memilih tunduk.
Ideologi dalam Orb bukan sekadar soal heliosentrisme. Ini bukan cuma tentang matahari dan bumi. Ini tentang hak berpikir. Tentang bagaimana pengetahuan bisa menjadi bentuk tertinggi dari pemberontakan. Dalam dunia di mana kebodohan dilembagakan dan kritik dianggap dosa, maka menyebarkan kebenaran adalah tindakan paling radikal yang bisa dilakukan manusia.
Kita sering lupa bahwa kemerdekaan berpikir yang kita nikmati hari ini dibangun di atas darah dan nyawa orang-orang yang bahkan tak pernah dikenal. Anime ini dengan brutal mengingatkan kita bahwa Copernicus dan Galileo tidak lahir dari ruang steril akademik, tapi dari medan perang ideologis. Mereka dipenjara, dibungkam, dihina. Tapi mereka tetap menulis. Tetap mengajar. Tetap menyebar.
Justri di sinilah pelajaran terbesarnya ketika sebuah ide ditanam dengan keyakinan dan diperjuangkan dengan keberanian, ia tidak butuh hidup abadi. Karena akan selalu ada orang baru yang menemukannya, merawatnya, dan memperjuangkannya ulang. Rafal mati. Tapi dari kematiannya, lahir banyak Rafal-Rafal lain yang lebih siap menghadapi sistem.
Sama seperti api yang membakar, ideologi menyebar dengan oksigen keberanian. Tanpa keberanian, ia mati. Tapi sekali saja ia menemukan satu paru-paru yang cukup berani menghirupnya, ia akan menyala lagi. Anime Orb tidak hanya menyajikan kisah perjuangan intelektual, ia memprovokasi penontonnya supaya merasa apa kau cukup berani jadi bagian dari warisan itu?
Ini bukan anime untuk mereka yang hanya ingin senyum-senyum melihat fanservice. Ini adalah anime bagi mereka yang percaya bahwa pengetahuan adalah senjata. Bahwa diam adalah pengkhianatan. Dan bahwa bertanya adalah awal dari perlawanan. Di balik musik yang indah dan animasi yang solid, anime Orb menyimpan kemarahan sejarah yang belum selesai bahwa masih banyak hal yang harus dipertanyakan, masih banyak kekuasaan yang belum digugat.
Pada akhirnya, anime Orb bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang siapa yang terus bertahan untuk berpikir. Dari sanalah kita paham, bahwa ideologi tidak akan mati hanya karena kematian. Ia hidup di buku, di bisikan, di grafiti tembok, di diskusi kecil, dan bahkan dalam anime seperti ini. Yang diperlukan hanyalah satu hal yaitu keberanian.
Jadi, setelah menonton anime Orb, jangan hanya kagum. Bertanyalah. Gugatlah. Terlibatlah. Karena jika tidak, kita tidak beda dengan massa dalam cerita itu dimana hanya menonton para pemikir dibakar, lalu pulang dan hidup seperti biasa tanpa menimbang apa yang mereka sedang pikirkan atau teliti dan hanya menuruti doktrin yang sudah ada.
Penulis:
M Najib, mahasiswa dan saat ini aktif di klub Jurnalis Warga Surosowan