Serang – Seba tahun ini menjadi ritual yang disebut oleh warga Baduy sebagai Seba Gede. Karena menyandang nama Gede, maka tahun ini ada lebih banyak yang datang melakukan ritual. Sebanyak 1.769 orang datang melakukan ritual tahunan yang biasa dilakukan pasca panen.
Baduy kadang disebut dengan nama Orang Kanekes. Saat ritual Seba, masyarakat banyak yang datang dan menjadi ruang bagi warga setempat untuk mengenal tradisi masyarakat adat ini.
Seba Gede berlangsung sejak Kamis (1/5) mulai dari perjalanan dari Leuwidamar di ujung selatan Banten ke Pemkab Lebak hingga ke Abah Gede atau gubernur Banten. Karena menyandang nama Seba Gede, tahun ini ditandai oleh seserahan hasil alam mereka yang melimpah baik berupa pisang maupun gula aren. Perbedaan yang lain di ritual Seba Gede adalah seserahan yang mereka berikan ke Abah Gede berupa perkakas dapur.
Berdasarkan tradisi Baduy, mereka mayoritas berprofesi sebagai petani. Khususnya pada bertani padi gogo. Jenis padi yang ditanam bukan di persawahan tapi di perkebunan. Uniknya, menanam padi di Baduy hanya diperbolehkan sekali dalam setahun.
“Patokannya, orang Baduy ini nanem padi, tapi satu tahun sekali. Jadi, kalau orang Baduy nggak punya tanaman padi dalam jangka satu tahun, itu udah nggak di hitung warga Baduy lagi” kata Kolot Sarprin.
Dalam sehari, mereka tidak menentukan berapa lama harus berladang. Selama mampu, mereka bisa berladang menanam padi yang ditanam di perkebunan.
“Bisa aja kita kerja sampai maghrib, tapi kalau ada kegiatan lain, tapi masih ada kegiatan lain, kami tidak memaksakan kerja di ladang” paparnya.
Sebagai masyarakat adat, Baduy selalu memiliki cerita menarik yang bisa digali selain Seba. Salah satunya adalah soal tradisi pernikahan adat.
Rupanya, pernikahan bagi warga Baduy diatur tata laksananya berdasarkan perundingan para tetua adat. Mulai dari warkau pernikahan hingga hiasan pernikahan. Semuanya memiliki kalender tersendiri.
Di penanggalan Baduy, setahun tidak melulu 365 hari sebagaimana kita menghitung kalender. Meski berbeda, hitungan bulan mereka sama memiliki perhitungan 12 bulan. Di bulan-bulan tertentu itulah waktu yang dipilih untuk pernikahan, bertani hingga melakukan Seba.
“Kami punya penanggalan sendiri. Jadi hitungannya kami nggak mengikuti bulan nasional, nggak ikut penanggalan islam, kami punya penanggalan sendiri. Tapi tetep setahun 12 bulan,” papar Sarpin.
Dalam tradisi Baduy, acara pernikahan berlangsung hanya pada 4 bulan tertentu melalui perundingan bersama tetua adat. Tentunya, dengan berbagai pantangan tertentu berdasarkan adat istiadat mereka dalam melaksanakan pernikahan.
“Sebetulnya, tidak semua bulan itu bagus dan kalau larangan nggak boleh,” katanya.
(Nadira/Jurnalis Warga)