Kabupaten Serang – Di balik hijaunya hutan Gunung Pinang yang selama ini menjadi paru-paru masyarakat Kramatwatu, awan kelabu menggantung sejak matahari terbit pada Rabu pagi, 30 April 2025. Ratusan warga berkumpul di depan Kantor Perhutani Desa Pejaten. Mereka membawa kecemasan berlarut lama yang terpendam akibat penggundulan hutan.
Warga dan pengendara lalu lintas terlihat terkejut ketika ratusan warga dari Kecamatan Kramatwatu berkumpul di depan Kantor Perhutani Desa Pejaten. Sesekali ada yang berhenti sekedar melihat situasi. Di sana, ada spanduk, ada orasi, ada pula coretan protes yang akhirnya mewarnai dinding kecamatan.
Sekitar pukul 09.00 WIB, massa yang berkumpul mulai mengeluarkan kegelisahan dan aspirasinya. Ketua Karang Taruna Kecamatan Kramatwatu, Sumarga, menyebut aksi itu lahir dari kegelisahan warga yang selama ini merasa diabaikan oleh pemerintah setempat.
“Ini bukan gerakan yang dirancang. Ini suara hati yang meledak karena alam kami diusik,” ujarnya lantang.
Dari orasi, warga kemudian diterima untuk melakukan audiensi. Hadir saat itu termasuk dari pihak pengembang kawasan gunung yang sudah digunduli. Tapi, suara warga kompak ingin penggundulan hutan di Gunung Pinang dihentikan apapun alasannya termasuk soal pengembangan pariwisata.
“Kami khawatir Gunung Pinang akan bernasib seperti kawasan di Bogor rawan longsor, banjir, dan kehilangan jati diri alamnya,” lanjut Sumarga.
Menurut Sumarga, proyek wisata itu tak hanya minim sosialisasi, tapi juga mencederai tatanan ruang wilayah. Bahkan kepala desa pun mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi.
Di proses audiensi, pengembang yang bekerja sama dengan pihak desa sepat menghentikan proyek itu. Tapi, masyarakat terlanjur kecewa lantaran pepohonan yang sudah digunduli.
Makanya, masyarakat meminta agar ada reboisasi di lokasi penggundulan di Gunung Pinang. “Kami tidak akan menunggu. Reboisasi harus segera dilakukan. Pohon-pohon jati tua yang telah tumbang harus diganti,” ucap Sumarga.

Sementara itu, Rudi dari Perhutani BKPH Serang mengaku bahwa pembatalan pengembangan bersifat spontan akibat tekanan masyarakat. Menurutnya, prosedur izin sebenarnya telah dilalui oleh swasta. Namun kesepakatan untuk menghentikan proyek dicapai karena kondisi di lapangan yang memanas.
“Ini audiensi, bukan pengerahan massa. Tapi karena situasi berkembang di luar ekspektasi, akhirnya kita sepakat hentikan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, lahan seluas 5 hektare itu telah ditetapkan sebagai kawasan hutan wisata sejak 2014. Perhutani sempat bekerja sama dengan PT PAS, namun kemudian beralih ke PT Tampo Mas Putraco akibat wanprestasi dari mitra sebelumnya.
Direktur PT Tampo Mas Putraco, Dudung Permana juga akhirnya angkat bicara. Ia mengakui seluruh kelalaian. Mulai dari tiadanya sosialisasi ke warga, belum adanya dokumen AMDAL, dan pelaksanaan proyek yang tergesa-gesa.
“Kami akui, ini kesalahan kami. Tidak ada sosialisasi, karena ini bukan usaha utama kami,” ungkapnya.
Kerugian perusahaan menurutnya mencapai Rp 180 juta. Ia mengaku ikhlas karena itu jadi risiko usaha.
“Pengusaha itu kenal dua hal, untung atau rugi. Sekarang kami rugi, ya kami hentikan,” ujarnya, seolah lupa bahwa hutan bukan sekadar hitungan angka dan grafik.
(Rasyid/Jurnalis Warga)