Petisi tokoh dan masyrakat sipil (ylbhi.or.id)

Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan tegas menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dinilai akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia kembali ke rezim Neo Orde Baru.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur menyoroti sejumlah permasalahan dalam revisi UU TNI yang dinilai mengancam independensi peradilan serta memperkuat impunitas hukum bagi anggota TNI.

“Revisi ini bertentangan dengan agenda reformasi yang bertujuan menjadikan TNI sebagai tentara profesional dan menjaga supremasi sipil dalam demokrasi,” kata Isnur dalam pernyataan persnya.

Empat Substansi dalam RUU TNI yang Bermasalah

YLBHI mencatat beberapa substansi pasal yang bermasalah dalam Revisi UU TNI yang dalam pembahasannya dinilai terburu-buru itu. Pertama, Perwira TNI dalam draft revisi Pasal 71, memperluas jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI, termasuk di berbagai kementerian dan lembaga negara.

Revisi ini juga memperpanjang usia pensiun perwira hingga 62 tahun, yang dikhawatirkan akan semakin menumpuk perwira non-job dan membuka celah penempatan ilegal mereka di lembaga-lembaga sipil maupun badan usaha milik negara (BUMN).

Kedua, pada draft Pasal 47, adanya kemungkinan bagi anggota TNI untuk menjabat di posisi sipil, namun seharusnya dibatasi hanya pada 10 lembaga yang relevan, atau setelah mereka pensiun atau mengundurkan diri.

Presiden Prabowo telah menganjukan agar anggota TNI aktif dapat menjabat di berbagai lembaga dan kementerian negara seperti Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan Negara. Serta beberapa lembaga lainnya, seperti Intelijen Negara, Sandi Negara.

Ketiga, masih di pasal yang sama, TNI diberikan wewenang untuk dapat mengisi posisi Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara. Kebijakan ini berpotensi memberi ruang lebih besar bagi militer untuk turut campur dalam urusan politik dalam negeri, yang dapat mengancam kebebasan sipil dan demokrasi dengan dalih “keamanan negara.”

Terakhir, draft Pasal 7 mengatur operasi militer selain perang, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 belum memiliki mekanisme yang jelas. Dalam rancangan baru, aturan ini diperjelas, tetapi justru memperkuat posisi TNI untuk menjalankan operasi militer non-perang tanpa melalui mekanisme check and balances dari DPR.

Desakan untuk Menghentikan Revisi UU TNI

YLBHI menilai revisi ini merupakan bagian dari strategi politik hukum pemerintahan Prabowo-Gibran yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Pembahasan yang dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik menunjukkan pengabaian terhadap prinsip demokrasi dan transparansi, serta mencerminkan arogansi dalam pembuatan kebijakan.

Sebelumnya, pada 15 Maret 2025, Panitia kerja atau Panja revisi UU TNI dari Komisi I DPR RI menyelenggarakan rapat tertutup di salah satu hotel bintang lima di bilangan Jakarta Pusat, yakni Hotel Fairmont. Koalisi masyarakat sipil menggeruduk rapat yang tengah berlangsung.

“Jika revisi ini tetap disahkan, Indonesia berpotensi kembali ke era otoritarianisme dengan supremasi militer yang melemahkan demokrasi dan hak asasi manusia,” ujar Isnur.

Penulis: Anggita/Jurnalis Warga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here