Site icon Surosowan.id

PSU di Kabupaten Serang: Sebuah Catatan Suram Kinerja KPU dan Bawaslu

Ilustrasi pemungutan suara oleh warga (Foto: Istimewa)

Serang – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan agar KPU Kabupaten Serang melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh TPS. Berbagai indikasi ketidaknetralan mulai dari menteri hingga pejabat desa jadi pertimbangan Ketua MK Suhartoyo dalam memberikan putusan. Sebuah catatan buruk bagi penyelenggara dan pengawas Pilkada di daerah.

Pilkada Kabupaten Serang jadi satu diantara 24 wilayah di Indonesia yang diputus MK agar melakukan PSU. Dalam pertimbangannya, MK menilai ada keterlibatan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes-PDT), Yandri Susanto dalam pemenangan pasangan calon nomor urut 02 yang merupakan suami dari Ratu Rachmatu Zakiyah. Selain keterlibatan Mendes-PDT, MK juga menyoroti terkait keterlibatan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Serang dan mobilisasi kepala desa (kades) di Kabupaten Serang.

Jauh sebelum MK memutus perkara ini, keterlibatan Mendes-PDT, mobilisasi kades, maupun keterlibatan APDESI pernah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Serang dan Bawaslu Banten. Akan tetapi tidak ada sanksi tegas yang diberikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang untuk mengawasi pemilihan tersebut. Sejatinya MK hanya menegaskan kembali bahwa benar telah terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Serang.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Bawaslu Kabupaten Serang tertanggal 13 November 2024, setidaknya terdapat 32 laporan dan temuan dugaan pelanggaran Pilkada di Kabupaten Serang. Namun, dugaan pelanggaran tersebut tidak ada yang dikenakan pidana pemilu. Dalam Pasal 71 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Apabila terbukti melanggar, dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda yang tertuang dalam Pasal 188 UU Nomor 10 tahun 2016.

Dalam hal ini, MK menegaskan bahwa ia bukan Mahkamah Kalkulator yang hanya berbicara soal selisih angka-angka. Tetapi proses kemurnian suara pemilih juga menjadi pertimbangan MK dalam memutus perkara tersebut. Hal ini menambah catatan kelam gelaran demokrasi di Kabupaten Serang.

Tak hanya saat Pilkada, MK pernah memerintahkan KPU Kabupaten Serang melakukan penyandingan data C Hasil TPS dengan D Hasil kecamatan saat Pemilu 2024 lalu. Dua kejadian ini seolah-olah mengindikasikan bahwa ada krisis integritas di tubuh penyelenggara dan peserta demokrasi di Kabupaten Serang yang akhirnya merugikan seluruh masyarakat.

Hal terpenting saat ini adalah harus ditekankan bahwa kontestasi dalam PSU ini dilakukan dengan memedomani pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam putusan. Yaitu dengan pengawasan yang lebih intensif terhadap netralitas kepala desa dan aparatur desa serta pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan Pilkada.

Tak hanya pelanggaran-pelanggaran di atas, dalam kontestasi politik di Kabupaten Serang juga diwarnai dugaan politik uang. Dugaan tersebut juga dipertegas ketika Bawaslu Kabupaten Serang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada pelaku politik uang di salah satu wilayahnya. Namun, pemrosesan terhadap pelaku politik uang tersebut akhirnya hilang begitu saja.

Kondisi seperti ini memperkuat stigma bahwa di Kabupaten Serang, pertarungan para kandidat tidak didasarkan pada visi misi. Melainkan mereka bertarung dengan cara-cara Orde Baru (Orba) yang kala itu mereduksi pengertian pesta demokrasi menjadi hura-hura dan bergantung pada politik uang.

Dalam pandangan Filsuf Italia Niccolo Machiavelli setidaknya mengatakan bahwa politik adalah ruang pragmatisme, individualisme, dan realisme. Bisa kita saksikan bersama bahwa akar dari persoalan demokrasi saat ini adalah bobroknya sistem kaderisasi dan kepartaian. Koalisi yang saat ini dibangun bukan atas dasar ideologi. Sulit rasanya kita bisa menemukan koalisi yang dibangun atas dasar ideologi tetapi koalisi ini dibangun atas kepentingan kepartaian. Bukan atas dasar mimpi besar kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, kita harus menanggung badai demokrasi seperti politik uang dan polarisasi akibat kandidat yang tak memiliki visi.

Penulis: Ukat/Jurnalis Warga

Exit mobile version