Serang – Di sudut pinggir Jalan Ciceri Kota Serang yang padat saat hari menjelang sore pada Senin (17/2/2025). Sekelompok mahasiswa duduk ditemani tumpukan buku dan kertas gambar. Di sampingnya, setumpuk baju bekas masih layak pakai disediakan bagi siapapun yang mau pakai.
Mahasiswa itu bukan sedang berdagang. Bukan pula tengah mengerjakan tugas kampus. Mereka sedang menggelar Sekolah Pinggir Jalan (SPJ) Gratis yang diekspresikkan sebagai ruang belajar alternatif karena resah terhadap sistem pendidikan.
Adam, salah satu penggagas SPJ Gratis, tanpa ragu melontarkan kritiknya soal sistem pendidikan di Indonesia. Ia menilai bahwa sistem pendidikan saat ini hanya memprioritaskan mereka yang mampu secara ekonomi. Menurutnya, kecerdasan dan kreativitas harus tunduk pada status sosial seseorang.
“Kami sudah capek menunggu perubahan dari pemerintah. Berapa kali demonstrasi, hasilnya nihil. Suara kami tak pernah didengar, jadi kami buat jalan sendiri,” ungkap Adam.
SPJ bukan sekadar tempat membaca buku atau belajar mengeja. Di sini, anak-anak bisa bebas menggambar, berekspresi, bahkan memilih sendiri apa yang ingin mereka pelajari.
Tak ada kurikulum baku, tak ada aturan kaku. Jika ada yang lebih tertarik menggambar daripada membaca, mereka diberi ruang untuk itu. Selain itu, pakaian bekas yang masih layak juga disediakan untuk mereka yang membutuhkan.
“Sesuai minat anak-anak. Kalau ada yang suka menggambar, silakan. Kalau ingin membaca, kami sediakan buku. Kami cuma ingin mereka tetap belajar, tanpa harus dibatasi,” tambah Adam.
Di tempat yang sama, Sabil salah satu relawan lainnya, berharap anak-anak bisa terus tumbuh bersama mereka. Ia ingin SPJ menjadi tempat di mana mereka tak sekadar belajar, tetapi juga menemukan kesenangan dalam belajar, meskipun hal yang dipelajari terkesan sederhana.
“Yang penting mereka tetap belajar. Nggak perlu muluk-muluk, inginnya mereka belajar sesuai keinginan mereka meskipun sepele”, katanya.
Lebih jauh, Sabil menuturkan bahwa semua karya yang dihasilkan anak-anak di SPJ akan mereka kumpulkan. Suatu hari, ia berharap karya-karya itu bisa dipamerkan ke masyarkaat luas, sebagai bukti bahwa kreativitas tak butuh batasan, tak peduli di mana pun mereka belajar.
“Kami cuma sediakan wadah buat mereka berekspresi. Harapannya, karya mereka ini bisa kami pamerkan, entah di mana pun itu,” tutupnya.
(Najib/Jurnalis Warga)