Surat kabar De Locomotief yang terbit pada 9 Februari, 1934

Pandeglang – Spesimen Badak Jawa atau Rhinoceros Sondaicus pernah hidup di bentangan pantai selatan Jawa bukan hanya di Ujung Kulon tapi hingga ke Tasikmalaya. Ada badak terakhir di tanah priangan yang sengaja ditembak untuk jadi koleksi museum pada 1934. Di sisi lain, memang ada perburuan badak untuk menjual cula yang harganya 500-600 gulden.

Badak terakhir di Tasikmalaya itu pernah ditulis oleh surat kabar berbahasa Belanda De Locomotief pada 9 Februari, 1934 dengan judul Rhinoceros Geschoten atau Penembakan Badak. Sebuah desa terpencil di Sindangkerta didatangi oleh seekor badak Jawa dengan ukuran yang digambarkan sebagai badak raksasa. Hewan soliter itu disebut telah merusak kebun penduduk lokal.

Sebetulnya, membunuh dan memburu badak Jawa di tahun itu dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Tapi, badak di Sindangkerta itu adalah spesies terakhir badak Jawa berjenis kelamin jantan yang diizinkan untuk ditembak. Izin diberikan ke seorang seorang ahli taksidermi atau ahli pengawetan hewan bernama Franck dari Museum Zoologi Bogor. Ia juga dikenal sebagai pemburu yang ulung. “Tugas ini sangat cocok untuk Franck yang dikenal sebagai pemburu ulung,” ditulis dalam surat kabar itu.

Franck berburu di selatan Tasikmalaya dengan bantuan petugas hutan dari warga lokal. Ia masuk berhari-hari ke hutan dan rawa-rawa untuk mencari badak tersebut yang hidup menyendiri.

Pada suatu siang, tim tersebut menemukan sang badak di sebuah kubangan di tengah hutan. Dari jarak 20 meter, Franck yang mengendap sambil bersembunyi menembak hewan itu hingga terluka parah. Tapi, badak yang terluka itu melakukan perlawanan dan lari ke dalam hutan.

Beruntungya, pada suatu pagi Franck menemukan badak itu telah mati di sebuah kubangan. Setelah diukur, badak raksasa itu memiliki panjang 4 meter dan dengan cula hingga 21 sentimeter. Beratnya waktu itu diperkirakan hingga 2.000 kilogram atau dua ton.

“Itu adalah badak berukuran raksasa, panjangnya 4 meter dengan cula 21 cm, spesimen yang luar biasa dari Rhinoceros Sondaicus, beratnya sekitar 2000 kilogram,” seperti digambarkan oleh De Locomotief pada paragrap ke sepuluh dalam artikel tersebut.

Badak berukuran raksana oleh Franck dan timnya lalu diambil dan dibuang bagian tertentu dari tubuhnya. Setelah tuntas, badak dibawa menggunakan truk ke Bogor untuk diawetkan dan menjadi koleksi tambahan di museum.

Cula Seharga 600 Gulden

Di tahun 1930-an, pemerintah Hindia Belanda sebetulnya sudah melarang perburuan beberapa spesies langka. Salah satunya adalah badak Jawa yang ada di Ujung Kulon.

Dalam laporan De Locomotief pada 9 Februari 1934 tersebut, badak Jawa oleh penduduk di Tasikmalaya dianggap sebagai hama yang merusak perkebunan. Mereka bahkan ada yang diam-dia melakukan perburuan di pesisir pantai selatan untuk kemudian diperjualbelikan culanya.

Bagi penduduk setempat, cula badak dianggap memiliki khasiat yang misterius atau sebagai obat untuk penyakit tertentu. Cula yang ukurannya besar bahkan bisa dijual seharga 500 hingga 600 gulden.

Di surat kabar yang sama pada 9 Juni 1938, Rhinoceros Sondaicus atau badak bercula satu digambarkan menjadi mamalia yang paling langka di Asia. Di artikel berjudul Eenhoornige Rhinoceros Een der Zeldzaamste Zoogdieren itu menyebutkan bahwa ada hanya ada sekitar 25 ekor badak Jawa di Ujung Kulon yang masuk kawasan Jawa Barat waktu itu.

Padahal 50 tahun sebelumnya, spesies badak Jawa sangat umum ditemukan oleh masyarakat yang ada di Asia Tenggara seperti di Malaka, Perak dan Selangor. Namun, badak semakin langka karena adanya perburuan.

“Bahkan ada sedikit ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlangsungan mereka di sana, sehingga Ujung Kulon, yang setidaknya masih bisa dijaga dari pemburu liar yang sangat tertarik pada badak, menjadi lebih bernilai sebagai cagar alam dibandingkan dengan yang lain,” dalam artikel tersebut.

(Penulis: Aris Eka Arsana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here