Site icon Surosowan.id

Guru Oemar Bakri Itu Ada

“Pengalaman guru honorer semua sama, honor kecil tak seberapa tapi kewajiban sama dengan ASN.”

Itu adalah ucapan bernama Hendrawati, pengajar berstatus PPPK di SMPN 6 Satu Atap Atap (SATAP), Lebak Peundeuy, Cihara Lebak. Di sekolah itu, ada sembilan guru pengajar. Satu guru berstatus ASN, empat orang PPPK, dan sisanya adalah tenaga honorer termasuk dirinya.

Sebagai guru yang juga berstatus wakil kepala sekolah, Hendrawati jadi bagian yang ikut merekrut guru honorer. Sekolah yang ia pimpin sangat membutuhkan tenaga pengajar demi melayani siswa-siswi. Sebagai sesama guru, menjadi honorer menurutnya memiliki tugas yang berat dengan penghasilan rendah.

Sebetulnya, tidak ada perbedaan mencolok antara tenaga honorer dan ASN. Seragam dinas yang dikenakan sama. Durasi waktu mengajar sama. Bahkan kinerja dan beban kerja pun terbilang sama.

Namun, jika bicara soal upah dan kesejahteraan, itu menurutnya sangat berbeda jauh. Apalagi ditambah nihilnya jaminan atas risiko pekerjaan yang diterima oleh para  honorer. Seperti jaminan kesehatan dan tunjangan hari tua.

Ia menuturkan, sumber pendanaan upah para tenaga honorer bersumber dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah. Tapi, dana itu tahun ini menyusut karena menyesuaikan jumlah siswa. Jumlah siswa di SMPN 6 SATAP Cihara sekarang tidak lebih dari 40 orang.

Untuk satu jam pelajaran, mereka mendapat upah Rp20.000. Jumlah yang mereka terima saat ini mengalami penurunan dari yang sebelumnya sebesar Rp25.000.

“Karena dana BOS menurun, aturannya sesuai jumlah siswa yang ada maka jadi berkurang. Sementara pengeluaran banyak selain bayar honorer,”paparnya.

Ia menduga, membludaknya tenaga pendidik honorer disebabkan sistem perekrutan ASN yang berbelit. Termasuk soal aturan usia minimal 35 tahun. Sedangkan, jumlah guru honorer diatas usia tersebut juga terbilang banyak.

Pun begitu dengan perekrutan guru berstatus PPPK. Passing grade masuk kategori ini terlalu tinggi hingga membuat penerimaan PPPK jadi lebih kompleks.

“Selain itu formasi yg disediakan pemerintah daerah tidak memadai terlalu sedikit. Ini berkaitan dengan anggaran sepertinya,” tambahnya.

Di luar isu itu, kualitas infrastruktur dan pengelolaan anggaran pendidikan pun menurutnya masih memiliki catatan. Misalnya, bagaimana pengelolaan dana BOS harus dibuat transparan. Kemudian infrastruktur jalan-jalan sekolah di desa harus lebih baik. Termasuk ke SMPN 6 SATAP Cihara yang harus diperbaiki.

Hendrawati mengaku penuh harapan agar pemerintah bisa memberikan perhatian lebih ke pendidikan. Yang utama menurutnya adalah soal kesejahteraan bagi para honorer-honorer yang ada di desa-desa.

“Saya ingin lihat rekan-rekan yang masih honorer dapat diangkat jadi PPPK atau ASN supaya dapat kesejahteraan layak,” paparnya. (JW Alif/Red)

Exit mobile version